BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kemandirian menunjuk pada adanya
kepercayaan akan kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
tanpa bantuan orang lain, tanpa dikontrol oleh orang lain, dapat melakukan
kegiatan dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapinya.
A.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini
yaitu selain sebagai tugas kelompok mata kuliah Psikologi Perkembangan Remaja,
juga untuk mengetahui tentang bagaimana perkembangan kemandirian pada remaja.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan kemandirian
remaja?
2.
Bagaimanakah perkembangan
kemandirian remaja?
3.
Apakah faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi perkembangan kemandirian remaja?
4.
Permasalahan apakah yang
terkait dengan perkembangan kemandirian remaja?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kemandirian Remaja
Dalam
Bahasa Indonesia, kata “mandiri” diartikan sebagai suatu keadaan dapat berdiri
sendiri, tidak bergantung kepada orang lain. Kata “kemandirian” adalah kata
benda dari kata mandiri yang diartikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri
sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Kemandirian menunjuk pada adanya
kepercayaan akan kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
tanpa bantuan orang lain, tanpa dikontrol oleh orang lain, dapat melakukan
kegiatan dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapinya.
Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Johnson dan Medinnus, (Widjaja, 1986)
menjelaskan bahwa kemandirian merupakan salah satu ciri kematangan yang memungkinkan
seorang anak berfungsi otonom, berusaha ke arah terwujudnya prestasi pribadi
dan tercapainya suatu tujuan.
Dalam
istilah psikologi, kata mandiri dipadankan dengan kata otonomi (autonomy).
Senada dengan pendapat di atas, secara singkat Chaplin (1997) dalam Kamus
Psikologi memberikan arti kata autonomy sebagai keadaan pengaturan diri, atau
kebebasan individu manusia untuk memilih, menguasai dan menentukan dirinya
sendiri.
Dari
beberapa pengertian kemandirian di atas, diambil suatu pengertian bahwa secara
substansial kata mandiri/kemandirian dan kata otonomi (autonomy) mempunyai kata
kunci yang sama yakni terlepas dari ketergantungan pada orang lain, mempunyai
tanggung jawab pribadi serta mampu melaksanakan segala sesuatunya oleh dirinya
sendiri.
Fasick
dalam Rice (1996: 45) mengatakan: “one goal of every adolescent is to be
accepted as an autonomous adult”. Dengan demikian, maka kemandirian merupakan
salah satu aspek yang gigih diperjuangkan dan diidamkan oleh setiap para
remaja. Tuntutan adanya separasi (separation) atau self-detachment dari para
remaja terhadap orangtua atau keluarganya semakin tinggi, hal ini sejalan
dengan memuncaknya proses perubahan fisik, kognisi, afeksi, sosial, moral dan
mulai matangnya pribadi para remaja saat memasuki masa dewasa awal, dan
berkembangnya kebutuhan akan kemandirian (autonomy) dan pengaturan diri sendiri
(self directed) dari para remaja.
Pengertian
kemandirian berasal dari kata dasar diri yang mendapatkan awalan ke dan akhiran
an yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena
kemandirian berasal dari kata dasar diri, pembahasan mengenai kemandirian tidak
dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan diri itu sendiri, yang
dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah Self (Brammer dan Shostrom,
1982) karena diri itu merupakan inti dari kemadirian. Kalau menelusuri berbagai
literature, sesungguhnya banyak sekali istikah berkenaan dengan diri. Sunaryo
Kartadinata (1988) berhasil menginventarisasi sejumlah istilah yang dikemukakan
para ahli yang makna dasarnya relevan dengan diri, yaitu self determinism (Emil
Durkheim), autonomous morality (Jean Piaget), ego integrity (Erick E.
Erickson), the creative self (Alfred Adler), self-actualization (Abraham H.
Moslow), self-system (harry Stack Sullivan), real-self (Caren Horney).
Self-efficiacy (Albert Bandura), self-expansion, self-esteem, self-pity,
self-respect, self-sentience, self-sufficiency, self-expression,
self-direction, self-structure, self-contempt, self-control, self-righteousness,
self-effacement (Hall dan Linzey).
B.
Factor Yang Dapat Mempengaruhi Perkembangan Kemandirian Anak
Dan Remaja
Kemandirian
merupakan aspek yang berkembang dalam diri setiap orang, yang bentuknya sangat
beragam, pada tiap orang yang berbeda, tergantung pada proses perkembangan dan
proses belajar yang dialami masing-masing orang. Ada banyak factor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan kemandirian anak, namun ada beberapa factor yang
sangat berperan banyak dalam membentuk kemandirian anak.
1)
Gen atau keturunan orang tua.
Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak
yang memiliki kemandirian juga. Namun, factor keturunan ini masih menjadi
persebatan karena ada yang berpendapat bahwa sesunguuhnya bukan sifat
kemandirian orang tuanya itu menurun kepada anaknya, melainkan sifat orang
tuanya muncul berdasrkan cara orang tua mendidik anaknya.
2)
Pola asuh orang tua. Orang tua
yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata jangan kepada anaknya tanpa
disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat perkembangan
kemandirian.
3)
Sistem pendidikan disekolah.
Proses pendidikan disekolah yang tidak mengembangkan demokrasi pendidikan dan
cenderung menekankan indoktrinisasi tanpa argumentasi akan menghambat
perkembangan kemandirian remaja.
4)
Sistem kehidupan dimasasyarakat.
Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hierarki
struktur social, merasa kurang aman atau mencekam serta kurang mengahargai
manifestasi potensu remaja dalam kegitan prosuktif dapat menghambat kelancaran
perkembangan kemandirian remaja.
C.
Tipe-tipe Perkembangan kemandirian Pada Anak dan Remaja
Perlu
kita kita ketahui bahwa kemandirian dilihat dari beberapa aspek seperti yang
dikemukakan oleh Havighurst (1972), yang menyatakan bahwa kemandirian memiliki
beberapa aspek, yaitu:
1. Aspek Intelektual, yang merujuk pada
kemampuan berpikir, menalar, memahami beragam kondisi, situasi, dan
gejala-gejala masalah sebagai dasar usaha mengatasi masalah.
2. Aspek Sosial, berkenaan dengan kemampuan
untuk berani secara aktif membina relasi sosial, namun tidak tergantung pada
kehadiran orang lain di sekitarnya.
3. Aspek Emosi, menunjukkan kemampuan individu
untuk mengelola serta mengendalikan emosi dan reaksinya, dengan tidak
tergantung secara emosi pada orang tua.
4. Aspek Ekonomi, menujukkan kemandirian dalam
hal mengatur ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan ekonomi, dan tidak lagi tergantung
pada orang tua.
Steinberg (1995 : 289) membagi
kemandirian dalam tiga tipe, yaitu: kemandirian emosional (emotional autonomy),
kemandirian behavioral (behavioral autonomy), dan kemandirian nilai (values
autonomy).
1)
Kemandirian Emosional
Kemandirian
emosional dapat diartikan sebagai kemampuan individu dalam mengelola emosinya,
seperti pemudaran ikatan emosional anak dengan orang tua. Percepatan pemudaran
hubungan itu terjadi seiring dengan semakin mandirinya remaja dalam mengurus
diri sendiri. Dalam analisis Berk (1994) konsekuensi dari semakin mampunya
remaja mengurus dirinya sendiri maka waktu yang diluangkan orang tua terhadap
anak semakin berkurang dengan sangat tajam. Proses ini sedikit besarnya
memberikan peluang bagi remaja untuk mengembangkan kemandiriannya terutama
kemandirian emosional. Disamping itu, hubungan antara anak dan lingkungan
sebaya yang lebih intens dibanding dengan hubungan anak dengan orang tua
menyebabkan hubungan emosional anak dan orang tua semakin pudar. Kedua pihak
ini lambat laun akan mengendorkan simpul-simpul ikatan emosional infantil anak
dengan orang tua (Steinberg, 1995 : 290). Namun ini bukan berarti anak akan melakukan
pemberontakan terhadap orang tua, ini hanya masalah kedekatan yang berbeda,
memudar bukan berarti pupus tak bersisa, walau bagaimanapun ikatan batin tetap
akan terjalin antara anak dan orang tua.
Menurut
Silverberg dan Steinberg (Steinberg, 1995 :291) ada empat aspek kemandirian
emosional remaja, yaitu:
1. Sejauh mana remaja mampu melakukan
de-idealized terhadap orang tua,
2. Sejauh mana remaja mampu memandang orang
tua sebagai orang dewasa umumnya (parents as people),
3. Sejauh mana remaja tergantung kepada
kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan emosional orang lain (non
dependency), dan
4. Sejauh mana remaja mampu melakukan
individualisasi di dalam hubungannya dengan orang tua.
Aspek
pertama dari kemandirian emosional adalah
de-idealized, yakni kemampuan
remaja untuk tidak mengidealkan orang tuanya. Perilaku yang dapat dilihat ialah
remaja memandang orang tua tidak selamanya tahu, benar, dan memiliki kekuasaan,
sehingga pada saat menentukan sesuatu maka mereka tidak lagi bergantung kepada
dukungan emosional orang tuanya. Menurut penelitian yang dilakukan Smollar dan
Younis tahun 1985 (Steinberg, 1995 : 292) tidak mudah bagi remaja untuk
melakukan de-idealized. Bayangan masa
kecil anak tentang kehebatan orang tua tidak mudah untuk dilecehkan atau
dikritik. Kesulitan untuk melakukan de-idealized remaja terbukti dari hasil riset
yang dilakukan Steinberg (1995 : 193)
yang menemukan bahwa masih banyak remaja awal yang sudah mandiri secara
emosional. Mereka masih menganggap orang tua selamanya tahu, benar, dan
berkuasa atas dirinya. Mereka terkadang sulit sekedar untuk menerima pandangan
bahwa orang tua terkadang melakukan kesalahan.
Aspek
kedua dari kemandirian emosional adalah pandangan tentang parents as people, yakni
kemampuan remaja dalam memandang orang
tua sebagaimana orang lain pada umumnya. Perilaku yang dapat dilihat ialah
remaja melihat orang tua sebagai individu selain sebagai orang tuanya dan
berinteraksi dengan orang tua tidak hanya dalam hubungan orang tua-anak tetapi
juga dalam hubungan antar individu. Menurut Steinberg (1995 : 291) remaja pada tingkat SMA tampak mengalami
kesulitan dalam memandang orang tua sebagaimana orang lain pada umumnya. Dalam
analisisnya aspek kemandirian emosional ini sulit berkembang dengan baik pada
masa-masa remaja, mungkin bisa sampai dewasa muda.
Aspek
ketiga dari kemandirian emosional adalah
nondependency, yakni suatu derajat di mana remaja tergantung kepada
dirinya sendiri dari pada kepada orang tuanya untuk suatu bantuan. Perilaku
yang dapat dilihat ialah mampu menunda keinginan untuk segera menumpahkan
perasaan kepada orang lain, mampu menunda keinginan untuk meminta dukungan
emosional kepada orang tua atau orang dewasa lain ketika menghadapi masalah. Aspek
keempat dari kemandirian emosional pada remaja adalah mereka memiliki derajat
individuasi dalam hubungan dengan orang
tua (individuated). Individuasi berarti berperilaku lebih bertanggung jawab.
Perilaku individuasi yang dapat dilihat ialah mampu melihat perbedaan antara
pandangan orang tua dengan pandangannya sendiri tentang dirinya, menunjukkan
perilaku yang lebih bertanggung jawab. Contoh perilaku remaja yang memiliki
derajat individuasi di antaranya mereka mengelola uang jajan dengan cara
menabung tanpa sepengetahuan orang tua.
Collins dan Smatana (Steinberg, 1995 : 293) berkeyakinan bahwa
perkembangan individuasi ke tingkat yang lebih tinggi didorong oleh
perkembangan kognisi sosial mereka. Kognisi sosial remaja yang dimaksud
merujuk pada pemikiran mereka tentang diri mereka dan
hubungannya dengan orang lain. Misalnya, remaja berpandangan “Teman saya
berpendapat bahwa saya adalah seorang gadis baik, maka saya harus menjadi gadis
yang baik”.
2)
Kemandirian Behavioral
Kemandirian
perilaku (behavioral autonomy) merupakan kapasitas individu dalam menentukan
pilihan dan mengambil keputusan tanpa ada campur tangan dari orang lain. Tapi
bukan berarti mereka tidak memerlukan masukan dari orang lain, mereka akan
menggunakan maskukan tersebut sebagai referensi baginya dalam mengambil
keputusan.
Menurut
Steinberg (1993 : 296) ada tiga domain kemandirian perilaku (behavioral
autonomy) yang berkembang pada masa remaja yaitu:
Pertama,
mereka memiliki kemampuan mengambil keputusan yang ditandai oleh:
a.
Menyadari adanya resiko dari
tingkah lakunya.
b.
Memilih alternatif pemecahan
masalah didasarkan atas pertimbangan sendiri dan orang lain.
c.
Bertanggung jawab atas konsekuensi
dari keputusan yang diambilnya.
Kedua, mereka memiliki kekuatan
terhadap pengaruh pihak lain yang ditandai oleh:
a.
Tidak mudah terpengaruh dalam
situasi yang menuntut konformitas.
b.
Tidak mudah terpengaruh tekanan
teman sebaya dan orang tua dalam mengambil keputusan.
c.
Memasuki kelompok sosial tanpa
tekanan.
Ketiga,
mereka memiliki rasa percaya diri (self reliance) yang ditandai oleh:
a.
Merasa mampu memenuhi kebutuhan
sehari-hari di rumah dan di sekolah.
b.
Merasa mampu memenuhi tanggung
jawab di rumah dan di sekolah.
c.
Merasa mampu mengatasi sendiri
masalahnya.
d.
Berani mengemukakan ide atau
gagasan.
3)
Kemandirian Nilai
nilai (values autonomy) merupakan proses yang
paling kompleks, tidak jelas bagaimana proses berlangsung dan pencapaiannya,
terjadi melalui proses internalisasi yang pada lazimnya tidak disadari, umumnya
berkembang paling akhir dan paling sulit dicapai secara sempurna dibanding
kedua tipe kemandirian lainnya. Kemandirian nilai (values autonomy) yang
dimaksud adalah kemampuan individu menolak tekanan untuk mengikuti tuntutan
orang lain tentang keyakinan (belief) dalam bidang nilai.
Menurut
Rest (Steinberg, 1995 : 307) kemandirian nilai berkembang selama masa remaja
khususnya tahun-tahun remaja akhir. Perkembangannya didukung oleh kemandirian
emosional dan kemandirian perilaku yang memadai. Menurut Steinberg (1993),
dalam perkembangan kemandirian nilai, terdapat tiga perubahan yang teramati
pada masa remaja. Pertama, keyakinan akan nilai-nilai semakin abstrak (abstract
belief). Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja mampu menimbang berbagai kemungkinan
dalam bidang nilai. Misalnya, remaja mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang
akan terjadi pada saat mengambil keputusan yang bernilai moral. Kedua, keyakinan akan nilai-nilai semakin
mengarah kepada yang bersifat prisip (principled belief). Perilaku yang dapat
dilihat ialah (a) berpikir dan (b) bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam bidang nilai.
Ketiga, keyakinan akan niali-nilai semakin terbentuk dalam diri remaja
sendiri dan bukan hanya dalam sistem nilai yang diberikan oleh orang tuanya
atau orang dewasa lainnya (independent belief). Perilaku yang dapat dilihat
ialah (a) remaja mulai mengevaluasi
kembali keyakinan dan nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain, (b) berpikir
sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri, dan (c) bertingkah laku sesuai
dengan 11 keyakinan dan nilainya sendiri. Misalnya remaja menggali kembali
nilai-nilai yang selama ini diyakini kebenarannya. Upaya remaja ini hakekatnya
merupakan proses evaluasi akan nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain.
Sebagian besar perkembangan kemandirian nilai dapat ditelusuri pada
karakteristik perubahan kognitif. Dengan meningkatnya kemampuan rasional dan
makin berkembangnya kemampuan berpikir hipotetis remaja, maka timbul minatminat
remaja pada bidang-bidang ideologi dan filosofi
dan cara mereka melihat persoalan-persoalan semakin mendetail. Oleh
karena proses itu maka perkembangan
kemandirian nilai membawa perubahan-perubahan pada konsepsikonsepsi remaja
tentang moral, politik, ideologi, dan persoalan-persoalan agama (Steinberg, 1993
: 303). Secara sekuensial perkembangan
kemandirian nilai mempersyaratkan perkembangan kemandirian emosional (emotional
autonomy) dan kemandirian perilaku (behavioral autonomy). Steinberg (1995 : 304) menyatakan the growth of value autonomy is
encouraged by the development of emotional and behavioral development as well. Kemandirian
emosional membekali remaja dengan kemampuan untuk melihat pandangan orang tua
mereka secara lebih objektif sedangkan kemandirian perilaku dapat menjadi
bekal bagi remaja dalam upayanya mencari kejelasan dari nilai-nilai yang telah
ditanamkan kepadanya (Steinberg, 1995). Oleh karena itu perkembangan
kemandirian nilai berlangsung belakangan, umumnya pada masa remaja akhir atau dewasa muda. Remaja akhir merupakan
kesempatan bagi remaja untuk melakukan koreksi-koreksi, penegasan kembali, dan
menilai ulang terhadap keyakinan-keyakinan dan
nilai-nilai yang mereka warisi sejak masih berada dalam ketergantungan
masa kanak-kanaknya pada orang tua (Adelson, 1980; Steinberg, 1993, Berk,
1994).
D.
Perkembangan Kemandirian pada Remaja
Kemandirian
(autonomy) merupakan salah satu tugas perkembangan yang fundamental pada
tahun-tahun perkembangan masa remaja. Steinberg (1995 : 286) menegaskan
becoming an autonomous person – a self governing person – is one of the
fundamental development tasks of the adolescent years. Disebut fundamental
karena pencapaian kemandirian pada remaja sangat penting artinya dalam kerangka
menjadi individu dewasa. Bahkan pentingnya kemandirian diperoleh individu pada
masa remaja sama dengan pentingnya pencapaian identitas diri oleh mereka.
Steinberg (1993 : 286) menegaskan for most adolescents, establishing a sense
of autonomy is as important a part of becoming an adult as is establishing a
sense of identity. Oleh karena itu
mereka begitu gigih dalam memperjuangkan kemandirian. Fasick (Rice, 1996 : 336)
membahasakan perjuangan akan kemandirian mereka dengan ungkapan one …… of every adolescent is to be
accepted as an autonomous adult.
Sesungguhnya tidak mudah bagi remaja dalam memperjuangkan kemandiriannya.
Kesulitannya terletak pada upaya pemutusan ikatan infantile yang telah
berkembang dan dinikmati dengan penuh rasa nyaman selama masa kanak-kanak.
Bahkan pemutusan ikatan infantile itu
seringkali menimbulkan reaksi yang sulit dipahami (misunderstood) bagi
kedua belah pihak remaja dan orang tua (Rice, 1996). Terkadang remaja sering
kali kesulitan dalam memutuskan simpul-simpul ikatan emosional kekanak-kanakannya secara logis dan
objektif. Dalam upayanya itu mereka
kadang-kadang harus menentang keinginan dan aturan orang tua. Orang tua
terkadang mempersepsi upaya pemutusan simpul-simpul ikatan infantil yang
dilakukan remaja sebagai pemberontakan atau peminggatan. Sekaitan dengan
kesulitan remaja-orang tua dalam
memutuskan ikatan infantile dalam kerangka pencapaian kemandiriannya Steinberg
(1995:286) menyatakan autonomy is often
confused with rebellion, and becoming an independent person is often equated with breaking away from the family.Dalam analisis
Steinberg (1995 : 290) jika remaja,
terutama remaja awal, mampu memutuskan simpul-simpul ikatan infantile
maka ia akan melakukan separasi, yakni pemisahan diri dari keluarga.
Keberhasilan dalam melakukan separasi inilah yang merupakan dasar bagi
pencapaian kemandirian terutama kemandirian yang bersifat independence. Dengan kata lain kemandirian
yang pertama muncul pada diri individu adalah kemandirian yang bersifat
independence, yakni lepasnya ikatan-ikatan emosional infantile individu
sehingga ia dapat menentukan sesuatu tanpa harus selalu ada dukungan emosional dari orang tua. Oleh
karena itu pada masa remaja ada suatu pergerakan kemandirian yang dinamis dari
ketidakmandirian individu pada masa kanak-kanak menuju kemandirian yang lebih bersifat
autonomy pada masa dewasa. Steinberg (1995 : 286) menyatakan during adolescence, there is a movement away
from the dependency typical of childhood toward the autonomy typical of
adulthood. Kemandirian emosional
berkembang lebih awal dan menjadi dasar bagi perkembangan kemandirian
behavioral dan nilai. Sembari individu mengembangkan secara lebih matang
kemandirian emosionalnya, secara perlahan ia mengembangkan kemandirian
behavioralnya. Perkembangan kemandirian emosional dan behavioral tersebut
menjadi dasar bagi perkembangan kemandirian nilai. Oleh karena itu, pada diri
individu kemandirian nilai berkembang lebih akhir dibanding kemandirian
emosional dan behavioral.
Munculnya
tugas-tugas perkembangan, bersumber pada faktor-faktor berikut:
1.
Kematangan fisik, misalnya (a)
belajar berjalan karena kematangan otot-otot kaki; (b) belajar bertingkah laku,
bergaul dengan jenis kelamin yang berbeda pada masa remaja karena kematangan
organ-organ seksual.
2.
Tuntutan masyarakat secara
kultural, misalnya (a) belajar membaca; (b) belajar menulis; (c) belajar
berhitung; (d) belajar berorganisasi.
3.
Tuntutan dari dorongan dan
cita-cita individu sendiri, misalnya (a) memilih pekerjaan; (b) memilih teman
hidup.
4.
Tuntutan norma agama, misalnya (a)
taat beribadah kepada Alloh; (b) berbuat baik kepada sesame manusia.
Tugas-tugas
perkembangan mempunyai tiga macam tujuan yang sangat bermanfaat bagi individu
dalam menyelesaikan tugas perkembangan, yaitu sebagai berikut:
1.
Sebagai petunjuk bagi individu
untuk mengetahui apa yang diharapkan masyarakat dari mereka pada usia-usia
tertentu.
2.
Memberikan motivasi kepada setiap
individu untuk melakukan apa yang diharapkan oleh kelompok sosial pada usia
tertentu sepanjang kehidupannya.
3.
Menunjukkan kepada setiap individu
tentang apa yang akan mereka hadapi dan tindakan apa yang diharapkan dari
mereka jika nantinya akan memasuki tingkat perkembangan berikutnya.
Tugas-tugas
perkembangan ada yang dapat diselesaikan dengan baik, ada juga yang mengalami
hambatan. tidak dapat diselesaikannya dengan baik suatu tugas perkembangan
dapat menjadi suatu bahaya potensial yang menjadi penghambat penyelesaian tugas
perkembangan, yaitu sebagai berikut :
1.
Harapan-harapan yang kurang tepat,
baik individu maupun lingkungan sosial mengharapkan perilaku di luar kemampuan
fisik maupun psikologis.
2.
Melangkahi tahap-tahap tertentu
dalam perkembangan sebagai akibat kegagalan menguasai tugas-tugas tertentu.
3.
Adanya krisis yang dialami
individu karena melewati satu tingkatan ke tingkatan yang lain.
Masa
perkembangan remaja juga ditandai dengan keinginan mengaktualisasikan segala
ide pikiran yang dimatangkan selama mengikuti pendidikan. Mereka bersemangat
untuk meraih keberhasilan. Oleh karena itu, mereka berlomba dan bersaing dengan
orang lain guna membuktikan kemampuannya. Segala daya upaya yang berorientasi
untuk mencapai keberhasilan akan selalu ditempuh dan diikuti. Sebab dengan
keberhasilan itu, ia akan meningkatkan harkat dan martabat hidup mereka di mata
orang lain.
E.
Masalah yang Timbul pada Masa Remaja
Singgih
(1988) menyatakan bahwa Pada masa perkembangan, remaja dihadapkan oleh berbagai
masalah, diantaranya yaitu:
1.
Perkembangan fisik dan
psikomotorik
Masalah
remaja yang muncul berkaitan dengan perkembangan fisik dan psiko-motorik.
Misalnya: matangnya organ reproduksi. Pada permasalahan ini, remaja membutuhkan
pemuasan biologis, kalau tidak terbimbing oleh norma-norma tertentu dapat
mendorong remaja melakukan masturbasi, homosexual, atau mencoba hetero-sexual
yang mungkin berakibat lebih jauh lagi berkembang penyakit kelamin, disamping
merupakan pelanggaran atas norma kesusilaan.
2.
Perkembangan bahasa dan perilaku
kognitif
Bagi
individu-individu tertentu, mempelajari bahasa asing bukanlah merupakan hal
yang menyenangkan. Kelemahan dalam fonetik misalnya, juga dapat menjadi bahan cemoohan,
yang bukan mustahil berakibat sikap negatif terhadap pelajaran dan guru bahasa
asing yang bersangkutan, benci pelajarannya dan juga terhadap gurunya.
3.
Perkembangan perilaku sosial,
moralitas, dan keagamaan
Dalam
kehidupan remaja yang masih mempunyai kelabilan dalam berpikir, remaja
cenderung melakukan perbuatanperbuatan yang justru bertentangan dengan norma
masyarakat atau agamanya, seperti mengisap ganja, mencuri.
4.
Perkembangan perilaku afektif,
konatif, dan kepribadian
Ketidakmampuan
menegakkan kata hatinya membawa akibat sukar terintegrasikan dan sintesi
fungsifungsi psikofisiknya, yang berlanjut akan sukar pula mene-mukan identitas
pribadinya. Ia akan hidup dalam suasana adolescencetisme (remaja yang
berkepanjangan) meskipun usianya sudah menginjak dewasa.
Sugiyo
(1995: 106) menegaskan bahwa problematik dalam diri kaum muda sendiri umumnya
berpangkal pada penampilan psikis dan fisik mereka yang masih serba labil dan
terbuka pada pengaruh luar yang diserap lewat media komunikasi pergaulan, misalnya
kenaifan seksualitas, upaya aktualisasi diri yang kurang mendapat tanggapan dan
pengakuan, konflik sekitar kebebasan, kurang menyadari potensi dan mengenal
diri, rasa rendah diri, kurang atau tak adanya kesempatan mengenyam pen-didikan
bagi sebagian kaum muda pedesaan dan mereka yang "tak punya", juga
pengaruh dari perkawinan dini, kurangnya kesadaran dan upaya mengubah sistem
adat yang menghambat perkembangan pribadi, kesulitan sekitar perumahan,
lingkungan belajar, dan pergaulan bagi mereka yang datang dari desa ke kota
besar. Semuanya itu mengakibatkan kaum muda menjadi gelisah, bingung, tidak
pasti, dan masa depan suram.
F.
Implikasi Masalah Remaja dengan Pendidikan
Conger
(dalam Abin, 1975: 11) menegaskan bahwa pemahaman dan pemecahan masalah yang
timbul pada masa remaja harus dilakukan secara interdisipliner dan antar
lembaga. Meskipun demikian, pendekatan dan pemecahannya dari pendidikan
merupakan salah satu jalan yang paling efektif dan strategis, karena bagi
sebagian besar remaja bersekolah dengan para pendidik, khususnya para guru,
banyak mempunyai kesempatan berkomunikasi dan bergaul.
Diantara
usaha-usaha pembinaan yang perlu di perhatikan, sekurang-kurang-nya untuk
mengurangi kemungkinan tumbuhnya permasalahan yang timbul pada masa remaja,
dalam rangka kegiatan pendidikan yang dapat dilakukan para pendidik umumnya dan
para guru khususnya:
a.
Hendaknya seorang guru mengadakan
program dan perlakuan layanan khusus bagi siswa remaja pria dan siswa remaja
wanita (misalnya dalam pelajaran anatomi, fisi-ologi dan pendidikan olahraga)
yang diberikan pula oleh para guru yang dapat me-nyelenggarakan penjelasannya
dengan penuh dignity. Tujuan dari usaha tersebut ada-lah untuk memahami dan
mengurangi masalah-masalah yang mungkin timbul bertalian dengan perkembangan
fisik dan psikomotorik remaja.
b.
Memperhitungkan segala aspek
selengkap mungkin dengan data atau informasi secermat mungkin yang menyangkut
kemampuan dasar intelektual (IQ), bakat khusus (aptitudes), disamping aspirasi
atau keinginan orangtuanya dan siswa yang bersang-kutan. Terutama pada masa
penjurusan atau pemilihan dan penentuan program studi. Upaya tersebut bertujuan
untuk memahami dan mengurangi masalah-masalah yang mungkin timbul bertalian
dengan perkembangan bahasa dan perilaku kognitif.
c.
Seharusnya seorang guru bisa
mengaktifkan dan mengkaitkan hubungan rumah dengan sekolah (parent teacher
association) untuk saling mendekatkan dan menyela-raskan system nilai yang
dikembangkan dan cara pendekatan terhadap siswa remaja serta sikap dan tindakan
perlakuan layanan yang diberikan dalam pembinaannya. Tu-juannya adalah untuk
memahami dan mengurangi masalah-masalah yang mungkin timbul bertalian dengan
perkembangan perilaku social, moralitas dan kesadaran hidup atau penghayatan
keagamaan.
d.
Seorang guru atau pendidik untuk
memahami dan mengurangi masalah-masalah yang mungkin timbul bertalian dengan
perkembangan fungsi-fungsi konatif, afektif dan kepribadian, seyogyanya seorang
guru memberikan tugas-tugas yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab, belajar
menimbang, memilih dan mengambil ke-putusan /tindakan yang tepat akan sangat
menunjang bagi pembinaan kepribadiannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masa
perkembangan remaja ditandai dengan keinginan mengaktualisasikan segala ide
pikiran yang dimatangkan selama mengikuti pendidikan. Mereka bersemangat untuk
meraih keberhasilan. Karena itu, Mereka berlomba dan bersaing dengan orang lain
guna membuktikan kemampuannya.
Laju
proses perkembangan perilaku dan pribadi remaja dipengaruhi oleh tiga faktor
dominan ialah faktor bawaan (heredity), kematangan (maturation), dan
ling-kungan (environment) termasuk belajar dan latihan (training and learning).
Ketiga faktor dominan utama itu senantiasa bervariasi yang mungkin dapat menguntungkan
atau menghambat atau membatasi lajunya proses perkembangan tesebut.
B. Saran
Pada
masa perkembangannya, remaja dihadapkan dengan berbagai masalah. Untuk itu
seorang pendidik harus mengerti dan memahami setiap perubahan perilaku remaja
dan membimbingnya dengan cara yang strategis efektif. Seorang guru juga harus
menguasai setiap materi yang akan disampaikan kepada muridnya, dengan de-mikian
akan terjalin komunikasi yang baik antara guru dan murid, sehingga seorang
murid akan merasa enjoy dalam setiap proses belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas,
2003 Media Pembelajaran, Jakarta: Dirjen Dikdasmen
terima kasih atas ilmunya
BalasHapushttp://http%3A%2F%2Fblog.binadarma.ac.id%2Fnovrihadinata.wordpress.com